Sabtu, 15 Juli 2017
Wariskan Anak Ilmu
Pagi ini salah satu penumpang travel BM Trans, salah satu bidang usaha yang saya miliki berada di teras depan rumah saya sembari menunggu mobil travel penjemput yang akan membawanya dari Sangatta ke Balikpapan.
Mengingat dia menunggu di teras depan rumah saya, maka mau tidak mau saya "njagong" bersamanya senbari menunggu mobil travel yang datang menjemputnya. Sekitar 10 atau 15 menit kemudian mobil travel yang menjemputnya datang dan membawanya berangkat menuju Balikpapan.
Sebelumnya, percakapan sederhana pun terjadi, dan dia menceritakan mengapa anak-anaknya tidak mau disekolahkan di perguruann tinggi, begitu lulus SMA langsung minta bekerja. Menurut anaknya, dengan langsung bekerja maka akan mendapatkan upah ataupun gaji, meskipun keinginannya menjadi "engineer" atau "mechanic", namun karena keterbatasan skill dan kemampuan, makanya menjadi operator pun diterima, yang terpenting baginya bisa cepat bekerja.
Padahal bapaknya selama kerja 20 tahun di perusahaan salah satu kontraktor tambang batubara di Sangatta, dikarenakan ijazah yang tidak terlalu tinggi, maka ia merasa bahwa jabatan dan gaji yang dimiliki dan didapatnya di perusahaan hanya begitu-begitu saja. Malahan dia dipimpin oleh seorang atasan dengan usia yang sangat muda, jauh di bawahnya dengan ijazah yang lebih tinggi darinya.
Dia beralibi seorang atasan dengan ijazah yang tinggi menurutnya, hanya menang di teori saja, sementara prakteknya skill di lapangan kadang-kadang malah kalah dengan orang-orang yang berada di bawahnya. Namun demikian, apa boleh dikata begitulah sistem birokrasi kita lebih mengenal pendidikan formal daripada pendidikan non-formal, lebih mengenal pendidikan berbasis teori dibandingkan memiliki skill yang kompeten.
Mendengar kata-katanya menceritakan tentang dirinya dan anaknya, saya lantas terdiam dan termenung sejenak kemudian menyampaikan sebuah cerita tentang kebiasaan orang-orang yang ada di kampung saya kepadanya.
Bagi orang tua-orang tua di kampung saya meskipun tidak berpendidikan tinggi, bahkan bahkan mayoritas malah tidak mengenyam pendidikan menginginkan anak-anaknya untuk bisa mengenyam pendidikan yang tinggi bagaimanapun caranya meskipun dengan cara berhutang sana, berhutang sini yang terpenting baginya anak-anak bisa selesai sekolah.
Meminjam peribahasa kuno "sikil digawe ndas, ndas digawe sikil" (kaki dipakai kepala, dan kepala dijadikan kaki) menyekolahkan anak yang tinggi merupakan pilihan orang-orang kampung, mereka beranggapan bahwa dengan menyekolahkan anak yang tinggi, dengan diajarkan ilmu yang tinggi, maka derajat akan di naikkan.
Bagi orangtua-orangtua di kampung saya, lebih baik mewariskan anak dengan ilmu yang tinggi daripada mewariskan anak dengan banyak harta. Seberapa pun banyaknya harta yang diwariskan kepada anak, apabila anak tidak bisa mengelolanya maka harta itu akan habis juga.
Teori dasar Human capital yang dipopulerkan Gary Becker, seorang ekonom dari the Chicago University nampaknya sangat dijiwai oleh orang tua orang tua di kampung saya Meskipun mereka tidak mengenal teori human capital. Bagi mereka yang terpenting anak-anaknya mau sekolah, maka berapapun biaya dan "ugo rampai" untuk menyelesaikan sekolah anaknya akan dicarikan .
Percakapan singkat pagi itu, nampaknya kita sepakat bahwa dengan pendidikan dan ilmu yang tinggi, lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan tidak memiliki pendidikan maupun ilmu yang tinggi. Mudah-mudahan Anda juga sepakat dengan kita.
Sangatta, 14 Juli 2017 || Oleh : Sismanto
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Komputasi bisa diartikan sebagai cara untuk menemukan pemecahan masalah dari data input dengan menggunakan suatu algoritma. Hal ini ialah ...
-
PERJALANAN ROBOT ARABOT Arabot adalah sebuah robot yang diharapkan akan berjalan dari titik awal (A, B atau C) hingga stasiun pengisian ...
-
Petunjuk Sesingkat-singkatnya bagi yang belum punya akun KKG/MGMP dan anggota MGMP masih kosong : Mulai (niat dan usaha) Buat SK KKG/M...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar